Seberapa pun kecilnya, menggunakan
uang (tunai maupun berupa sumbangan barang tertentu dan lain-lain) yang
dimaksudkan untuk memengaruhi orang-orang tertentu menjatuhkan pilihan
atau sekadar bersedia mendatangi tempat pemungutan suara (TPS), baik
dilakukan sebelum atau sesudah pemilihan umum (pemilu), sudah terhitung
politik uang (money politic).
Jika politik uang seperti yang diatur
undang-undang (UU) adalah bentuk pelanggaran dan secara moral tidak bisa
diterima, memberikan sekedar Rp5.000 sekali pun sudah menggugurkan
pencalonan seseorang dan menanggalkan semua moralitas yang melekat pada
dirinya.
Dulu politik uang mudah dilihat.
Strategi pemenangan pemilu yang melanggar aturan dan etika berkompetisi
secara sehat ini tampil dalam wajah yang langsung terlihat, seperti
membagi-bagikan amplop, pengganti uang transportasi atau dalam bentuk
serangan fajar, yang hampir selalu diberikan dalam wujud tunai untuk
perorangan.
Karena itu, orang mudah menganggap
politik uang sudah tidak ada jika praktik-praktik tersebut juga sudah
tidak ada. Bahayanya, sekarang politik uang tampil dalam wajah yang
tidak dikenali; bahkan dalam wujud kewajaran dan kebaikan yang bukan
saja bisa diterima tapi malah perlu dipraktikkan; atau malah dianggap
sebagai bagian dari strategi politik dalam rangka memperjuangkan
moralitas yang lebih besar.
Karenanya, membuat tidak gampang upaya
melawan dan memberantasnya. Selalu saja ada alasan untuk membenarkan
kebiasaan membagi-bagikan uang untuk tujuan memengaruhi pilihan para
pemilih.
Pembenaran pertama, kebiasaan
menyediakan sejumlah uang yang dibagi-bagikan kepada konstituen paling
sering dianggap sebagai strategi politik, yang jelas-jelas salah, tapi
bisa diterima untuk mencapai tujuan yang lebih besar.
Tujuan lebih besar yang dimaksud adalah
yang penting berhasil lebih dulu menjadi anggota parlemen (kepala daerah
atau kepala negara) baru setelah itu sikap politik ideal, membela
kepentingan rakyat banyak, dan bermoral tinggi dipraktikkan.
Secara garis besar argumen ini
menyerupai adagium yang sangat terkenal dalam dunia politik, yakni
tujuan menghalalkan segala cara. Jika ada calon anggota legislatif
(caleg) yang menghalalkan” segala cara, artinya termasuk cara-cara yang
melanggar norma dan aturan, caleg atau kandidat pemimpin tersebut sudah
seharusnya gugur terlebih dulu.
Bahkan, caleg atau kandidat pemimpin
demikian perlu ditangkap dan dipersoalkan secara hukum dan norma yang
berlaku karena melakukan pelanggaran. Seberapa kecil pun uang yang
dikeluarkan, seorang kandidat tidak akan pernah bisa dinilai sah
kemenangannya.
Orang seperti ini jika menjadi anggota
parlemen atau pemimpin akan selamanya hidup dengan kekuasaan yang ilegal
karena tidak diperoleh dengan cara yang benar dan sesuai aturan yang
berlaku.
Selain itu, menggunakan cara apa saja,
termasuk membagi-bagikan uang, dan saat setelah terpilih nanti
mempraktikkan perilaku politik yang idealis adalah argumentasi yang
kontradiktif.
Jika ada seorang caleg bertindak seperti
itu, siapa yang bisa menjamin caleg yang ”menghalalkan segala cara” ini
tidak akan menghilangkan kebiasaan buruk tersebut. Menjadi kandidat
pemimpin adalah soal konduite dan memberi teladan.
Seorang caleg diyakini akan bertindak
ideal setelah terpilih jika caleg yang dimaksud terlebih dulu
”mencontohkan” sikap ideal saat berkampanye. Sikap dan perilaku politik
saat berkampanye adalah janji tanpa kata-kata seorang caleg kelak saat
terpilih.
Pembenaran kedua, politik uang sering
kali dibenarkan karena semua orang melakukannya. Bahkan, para “caleg
pintar” yang bergelar “profesor dan doktor” juga membagi-bagikan uang.
Visi, misi, dan juga kepandaian dianggap tidak cukup.
Uang tetap perlu ada untuk membuat orang
semakin yakin dengan kandidat yang memang sudah dari sananya cerdas.
Argumen ini mudah dipatahkan dengan tiga cara berikut ini.
Pertama, seperti kurang lebih yang dikatan Ranggawarsita beberapa abad lalu: zaman ini jaman edan. Siapa yang tidak ikut ngedan
bakalan tidak kebagian. Maksudnya, orang sering salah kaprah
ikut-ikutan melakukan kesalahan karena kesalahan itu telah menjadi
“aturan main” yang—sekalipun salah—dianggap bisa diterima.
Orang lalu khawatir jika tidak ikut
melakukan kesalahan yang sama bakal tidak kebagian apa-apa. Artinya,
ikut-ikutan melakukan politik uang adalah sikap politik yang
berorientasi kemenangan belaka dan tidak memedulikan moralitas dan
etika.
Argumen di atas tak lain dari ajakan ramai-ramai berbuat salah tanpa sedikit pun upaya untuk mengubah keadaan yang buruk. Kedua,
“menyogok” pemilih dengan uang berapa pun adalah kesalahan yang tidak
akan pernah benar dengan sendirinya hanya karena dilakukan oleh
mayoritas.
Memikat Hati
Kesalahan bukan soal berapa jumlah orang
yang melakukannya dan apa derajat dan status sosial pelakunya.
Kesalahan adalah soal melanggar aturan, norma, dan UU yang berlaku.
Orang pintar seperti profesor dan doktor
harus dihukum lebih berat karena kepintaran yang bisa menuntun
mengetahui mana perbuatan yang bermoral, legal, dan mana yang tidak
malah tidak digunakan.
Ketiga, uang digunakan karena tak
tersedia sumber daya kepandaian dan kecerdasan. Maksudnya, jika seorang
caleg cukup cerdas dan pandai menyampaikan visi dan misinya atau
menjanjikan program politik yang masuk akal dan bisa dipercaya, uang
tidak akan diperlukan.
Sebaliknya, ketika uang diandalkan maka
caleg tidak cukup pantas disebut sebagai kandidat yang cerdas dan
intelektual. Atau, setidaknya caleg semacam ini tidak percaya dengan
intelektualitasnya sendiri, sehingga masih memerlukan uang untuk memikat
hati para pemilih.
Pembenaran ketiga, banyak anggota
tim sukses yang membenarkan tindakan memberikan uang sebagai pengganti
ongkos yang perlu dikeluarkan kepada calon pemilih untuk sekedar
melangkahkan kaki ke TPS. Bahkan tindakan seperti ini dinilai tidak
masuk kategori politik uang.
Sebab, seorang caleg justru dianggap
bertindak budiman dengan menyediakan semacam uang pengganti kepada para
konstituen yang harus mengeluarkan atau merelakan biaya tertentu untuk
memberikan suara.
Sekilas argumen yang satu ini bisa
diterima. Banyak pemilih yang hidupnya tergantung pada aktivitas yang
sifatnya harian, yang tentu terganggu jika harus ke TPS. Tapi, yang
dilupakan adalah aktivitas memilih adalah hak sekaligus kewajiban yang
manfaat terbesarnya akan dinikmati oleh pemilih itu sendiri.
Mengorbankan sesuatu, termasuk aktivitas
sehari-hari yang bisa mendatangkan penghasilan, adalah sesuatu yang
memang perlu ditempuh jika seseorang menginginkan hasil yang baik.
Jika ada seorang pemilih memutuskan
tidak ke TPS, pemilih seperti ini berarti tidak pernah punya niat untuk
mengorbankan sesuatu dari dirinya, untuk mencapai hasil bersama yang
lebih besar (negara yang sehat) yang juga akan dinikmatinya.
Pemilih jenis ini, jika diberi uang
sekali pun, tidak akan pernah memilih dengan niat jelas dan benar,
karena sejak awal tidak memiliki keinginan untuk “berpolitik“ yang baik.
Politik uang menyuburkan perilaku politik masyarakat yang salah kaprah.
Pembenaran keempat, memberi hadiah dalam
bentuk uang maupun barang dan program pembangunan fisik adalah “budaya
orang timur” yang tidak ada kaitannya dengan sogok menyogok.
Jika seorang caleg setelah kampanye yang
menghadirkan konstituen tidak memberikan hadiah, tindakan tersebut
dinilai sebagai ketidakpantasan dari segi adat istiadat atau bahkan
ketidaksopanan yang sulit diterima.
Argumen ini tampak benar dengan sendirinya. Sebab, memberi hadiah adalah kebiasaan turun-temurun, misalnya di masyarakat jawa.
Tapi, pertanyaannya, apakah seorang
caleg yang membagikan hadiah dalam jumlah yang banyak akan tetap
melakukan hal yang sama saat tidak ada kampanye?
Apakah seorang caleg atau kandidat
kepala daerah dan kepala negara akan selalu melakukan berbagai kunjungan
dengan membawa berbagai sumbangan/bantuan (membelikan seragam PKK, kerudung, sembako, pompa air, dan lain-lain) jika tidak ada kepentingan memenangi pemilihan?
Artinya, kebiasaan memberi hadiah
mungkin menjadi adat istiadat, tapi mengatakan para kandidat yang akan
bertarung dalam pemilu membagi-bagikan uang dan hadiah dalam rangka
melaksanakan tradisi adalah upaya menutup-nutupi politik uang dengan
alasan budaya.
Dan akhirnya, barangkali bentuk politik
uang kontemporer yang paling tidak kasatmata adalah kecenderungan para
caleg menjajakan ”program politik” dalam bentuk sumbangan fisik dan
santunan kesejahteraan.
Saat ini banyak masyarakat yang melihat
masa kampanye pemilu sebagai saat yang tepat untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Para caleg yang sedang
berkampanye dipandang sebagai calon pemimpin yang baru bisa dinilai
andal dan kredibel jika mampu secara instan dan cepat mengatasi beberapa
persoalan.
Persoalan-persoalan itu seperti
memperbaiki jalan rusak, membangun gapura atau membayarkan SPP anak
sekolah dari keluarga miskin, bahkan tanpa harus menunggu para caleg
tersebut terpilih sebagai anggota parlemen.
Sepintas kecenderungan ini bukan politik
uang dan kewajaran yang bisa dibenarkan, terutama karena dibahasakan
sebagai kepentingan umum. Masyarakat mungkin kesulitan mengatasi
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan infrastruktur fisik dan
layanan kesejahteraan yang sudah sepantasnya segera diatasi oleh para
caleg yang akan menjadi wakil mereka.
Bersifat Kolektif
Apalagi jika masalah-masalah tersebut
bersifat kolektif dan tidak berkaitan langsung dengan keuntungan orang
per orang secara pribadi. Tapi, jika diperhatikan lebih saksama,
kebiasaan meminta bantuan langsung kepada para caleg di masa kampanye
merupakan kebiasaan yang membodohkan dan berpotensi mengalihkan fungsi
DPR secara sistematis.
Analisisnya, pertama, bukan tugas
para caleg atau anggota legislatif yang masih menjabat untuk mengatasi
persoalan pembangunan infrastruktur fisik dan layanan kesejahteraan
dalam wujud langsung seperti itu.
Urusan tersebut merupakan porsi
eksekutif dan birokrasi yang membantunya. Masyarakat seharusnya menuntut
eksekutif atau pemerintah dan birokrasinya untuk bekerja lebih baik.
Anggota legislatif (DPR/DPRD/DPD)
berfungsi menyuarakan kepentingan (kolektif) masyarakat dan menekan
sekaligus mengawasi pemerintah agar merespons.
Lebih penting lagi, tugas anggota DPR
bukanlah membangun fisik dan layanan kesejahteraan (secara langsung),
tetapi membangun dan menyediakan kerangka politik legal, regulasi, dan
kebijakan yang memungkinkan pemerintah di berbagai tingkatan
administrasi bisa menjalankan tugasnya.
Bantuan fisik dan layanan kesejahteraan
sama sekali bukan program politik. Program politik adalah rancangan
regulasi dan kebijakan yang seharusnya ditawarkan seorang caleg untuk
mengatasi persoalan-persoalan di level mikro seperti perbaikan jalan,
mahalnya ongkos kesehatan, dan sebagainya.
Kedua, sering kali setelah
memberikan bantuan pembangunan fisik, para caleg merasa telah melakukan
kewajiban terhadap konstituen. Fungsi penting menyuarakan aspirasi dan
kepentingan masyarakat, setelah seorang caleg terpilih, menjadi tidak
relevan karena sang caleg merasa sudah melakukan sesuatu.
Akibatnya, kegiatan caleg yang terpilih
untuk lima tahun yang akan datang menjadi tidak jelas, tanpa orientasi,
dan tanpa basis representasi yang jelas. Memberi bantuan
tunai/pembangunan fisik (atas nama tugas dan fungsinya sebagai anggota
legislatif) karenanya sangat merusak mekanisme representasi.
Artinya, jika melihat kedua hal yang
diuraikan di atas, bantuan yang disediakan para caleg bagi pembangunan
fisik dan layanan kesejahteraan hakikatnya semata untuk menarik hati
para calon pemilih.
Para caleg, dengan kata lain, sedang
menggunakan bantuan-bantuan tersebut sekalipun dibungkus istilah program
politik, untuk ”membeli” suara pemilih. Jelas, di balik bantuan
pembangunan fisik dan layanan kesejahteraan ini ada jumlah uang tertentu
yang bisa dimaknai sebagai politik uang dalam bentuk yang begitu
canggih dan tidak mudah dikenali.
Politik uang dewasa ini bukan saja
tampil dalam berbagai bentuk, tapi juga selalu mengalami pembenaran
dengan berbagai cara. Salah satu tugas penting memberantas politik uang
adalah mementahkan semua argumen yang membuat pelanggaran besar ini
tampil sebagai sebuah kewajaran yang bisa dibenarkan.
Politik uang harus dilawan dengan
menanggalkan semua muslihat dan manipulasi kata-kata yang membungkusnya.
Agar harapan demokrasi sehat yang melahirkan pemimpin-pemimpin
berkualitas (secara intelektual dan moral) segera terwujud dan generasi
penerus terwarisi Indonesia yang lebih baik dan bermartabat.
Dina Hidayana adalah Pengurus DPP Partai Golkar; Caleg DPR-RI 2014 Nomor Urut 4 Daerah Pemilihan Solo, Sukoharjo, Klaten, Boyolali; www.dinahidayana.com